10 Daftar Masjid Tertua di Jakarta: Saksi Bisu Perkembangan Islam di Ibu Kota

Apakah Anda pernah bertanya-tanya, di tengah Jakarta yang penuh dengan kehidupan, ada jejak-jejak sejarah Islam yang kaya? Masjid-masjid tua di Jakarta bukan hanya tempat ibadah. Mereka juga menyimpan kisah panjang tentang penyebaran agama Islam di Nusantara.

Jakarta, kota yang terus berkembang, memiliki masjid-masjid bersejarah yang luar biasa. Beberapa di antaranya telah berdiri selama hampir 500 tahun. Mereka menjadi saksi bisu tentang perjalanan Islam di tanah Betawi, dari era Sunda Kelapa hingga zaman modern.

Wisata religi Jakarta memberikan kesempatan unik untuk menelusuri jejak Islam. Kita bisa melihat arsitektur dan kisah di balik masjid-masjid tertua. Setiap masjid memiliki keunikan tersendiri, baik dari segi desain maupun peran historisnya.

Kita akan jelajahi 10 masjid tertua di Jakarta. Dari Masjid Al-Alam Cilincing yang berusia mendekati 500 tahun, hingga Masjid Agung Sunda Kelapa dengan arsitektur uniknya. Setiap bangunan memiliki cerita menarik untuk diungkap.

Table of Contents

Poin-Poin Penting

  • Jakarta memiliki masjid-masjid bersejarah berusia hampir 500 tahun
  • Masjid tertua menjadi saksi penyebaran Islam sejak era Sunda Kelapa
  • Arsitektur unik masjid tua mencerminkan perpaduan budaya
  • Wisata religi Jakarta menawarkan pengalaman sejarah Islam yang kaya
  • Setiap masjid memiliki peran penting dalam perkembangan Islam di ibu kota

Sejarah Singkat Penyebaran Islam di Jakarta

Penyebaran Islam di Jakarta dimulai sejak era Sunda Kelapa. Kota ini menjadi tempat perkembangan agama Islam yang cepat di Indonesia bagian barat.

Era Sunda Kelapa hingga Batavia

Sejarah Islam Jakarta dimulai pada 1527, ketika Kesultanan Demak mengalahkan Kerajaan Sunda. Sunda Kelapa menjadi bagian dari kesultanan, menandai awal penyebaran Islam. Penyebar Islam mulai dari Pelabuhan Pasar Ikan ke Kampung Melayu, mendirikan Masjid Al-Atiq.

Pada abad ke-17, VOC merebut Jayakarta dan mengubahnya menjadi Batavia. Namun, penyebaran Islam tetap berlanjut. Masjid Al-Anshor, dibangun di pertengahan 1600-an, menunjukkan keberadaan Islam di era itu.

Peran Masjid dalam Perkembangan Islam

Masjid tua di Jakarta bukan hanya tempat ibadah. Mereka juga pusat penyebaran Islam. Masjid As-Salafiah di Jatinegara Kaum menunjukkan bagaimana Islam berkembang di Jakarta. Pada abad ke-19, Kiai Saleh Darat memperkuat pengaruh Islam di Batavia.

Pengaruh Budaya pada Arsitektur Masjid Tua

Arsitektur masjid tua Jakarta menunjukkan sejarah kota sebagai pelabuhan multikultural. Desain mereka dipengaruhi oleh budaya Belanda, Banten, China, India, dan Arab. Keunikan arsitektur ini menunjukkan perkembangan Islam di ibu kota.

Menurut sensus BPS tahun 2010, 85,36% penduduk Jakarta atau 8.200.796 jiwa menganut Islam. Angka ini menunjukkan kuatnya pengaruh sejarah penyebaran Islam di Jakarta.

Masjid Al-Alam Cilincing: Masjid Tertua di Jakarta

Masjid Al-Alam Cilincing adalah masjid tertua di Jakarta, berumur 495 tahun. Dibangun pada 1527, masjid ini melihat perkembangan Islam di Jakarta. Ini adalah saksi bisu era Fatahillah menaklukkan Sunda Kelapa.

Arsitektur masjid ini menunjukkan gaya tradisional Indonesia. Atapnya berbentuk dua susun genting dengan empat tiang soko guru yang kuat. Desain uniknya menarik banyak pengunjung setiap tahun.

Pada 1970, Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta menetapkan Masjid Al-Alam Cilincing sebagai cagar budaya Jakarta. Langkah ini bertujuan melestarikan nilai sejarah dan budaya masjid ini.

  • Masjid ini menggabungkan unsur budaya Jawa, Cina, Belanda, dan Betawi
  • Awalnya dikenal sebagai Masjid Agung Aulia sebelum berganti nama pada 1975
  • Area sekitar masjid termasuk makam Kiai Jamiin bin Abdullah menjadi tempat ziarah populer

Masjid Al-Alam Cilincing, meski cagar budaya Jakarta, menghadapi tantangan pemeliharaan. Pada 2014, kayu bangunannya mulai keropos dan rusak. Ini menunjukkan pentingnya pelestarian masjid bersejarah ini.

Masjid Al-Alam Cilincing bukan sekadar tempat ibadah, tapi juga simbol perjuangan dan penyebaran Islam di Jakarta.

Masyarakat sekitar berperan aktif menjaga Masjid Al-Alam Cilincing. Masjid ini menjadi kebanggaan warga dan pengingat kekayaan sejarah Islam di Jakarta.

Masjid Luar Batang: Warisan Habib Husein bin Abubakar Alaydrus

Masjid Luar Batang adalah saksi sejarah perkembangan Islam di Jakarta Utara. Dibangun pada tahun 1739 oleh Habib Husein bin Abubakar Alaydrus, masjid ini telah berdiri lebih dari 200 tahun. Terletak di Kampung Luar Batang, sebuah permukiman yang berdiri di pertengahan abad ke-17.

Sejarah Pembangunan Masjid

Awalnya, Masjid Luar Batang hanya sebuah surau kecil. Setelah Habib Husein wafat pada tahun 1756, surau ini diubah menjadi masjid yang lebih besar. Pemerintah Belanda meminta setiap Gubernur Batavia untuk membantu merawat masjid ini, menunjukkan pentingnya bangunan ini bagi masyarakat.

Arsitektur Unik Masjid Luar Batang

Desain Masjid Luar Batang unik dan menarik. Bentuknya mirip dengan gudang zaman Belanda, menunjukkan pengaruh kolonial. Di halamannya, terdapat mercusuar yang menyerupai Ka’bah, menandai tempat ibadah. Masjid ini bisa menampung sekitar 5.000 jamaah.

Makam Habib Husein dan Ziarah

Makam Habib Husein Alaydrus di kompleks masjid menjadi tempat ziarah yang populer. Banyak peziarah dari Jakarta dan luar kota datang, terutama pada malam Jumat. Beberapa pengunjung bahkan tinggal berbulan-bulan untuk berdoa di sini.

Masjid Luar Batang bukan hanya tempat ibadah. Ia juga pusat kegiatan sosial masyarakat. Anak-anak bermain sepak bola, keluarga persiapkan acara Isra Mi’raj, dan pedagang menjajakan makanan. Ini menunjukkan kehidupan sehari-hari yang dinamis di sekitar masjid bersejarah ini.

Masjid Jami Al-Atiq Kampung Melayu Besar

Masjid Jami Al-Atiq di Kampung Melayu Besar adalah warisan Sultan Banten. Masjid ini berdiri sejak abad ke-16. Dipercaya sebagai warisan dari Sultan Maulana Hasanuddin, Sultan Banten pertama.

Arsitektur Masjid Jami Al-Atiq menunjukkan ciri khas Jawa. Atapnya yang bersusun melambangkan panah, simbol pertahanan. Gaya ini mirip dengan masjid-masjid Jawa Tengah dan Timur seperti Masjid Demak, Sunan Giri, dan Gresik.

Walaupun beberapa kali direnovasi, Masjid Jami Al-Atiq mempertahankan elemen-elemen aslinya. Ukuran asli masjid masih terlihat dari batas empat tiang utama. Mihrab imam dan tongkat khatib yang berukir indah juga terjaga dengan baik.

Masjid Al-Atiq adalah saksi bisu perjuangan pahlawan Betawi melawan penjajah Belanda. Konon, masjid ini pernah menjadi tempat persembunyian Si Pitung dan Ji’ih pada tahun 1890-an.

Keberadaan Masjid Jami Al-Atiq juga menunjukkan perkembangan Islam di Jakarta sejak abad ke-15. Masjid ini menyimpan berbagai kisah menarik, seperti tongkat kayu unik di dekat mimbar yang dipercaya memiliki khasiat penyembuhan.

Masjid Jami An-Nawier Pekojan: Pusat Penyebaran Islam di Jakarta

Masjid Jami An-Nawier di Pekojan adalah saksi bisu sejarah Islam Jakarta. Dibangun pada tahun 1760, masjid ini menjadi pusat penyebaran Islam di wilayah Betawi. Arsitekturnya yang unik dan peran pentingnya dalam perkembangan Islam membuatnya menarik bagi peziarah dari berbagai daerah.

Sejarah Komandan Dahlan

Komandan Dahlan adalah tokoh penting di balik pendirian Masjid Jami An-Nawier. Beliau adalah ulama yang dihormati di Pekojan. Karena usahanya, masjid ini menjadi pusat kegiatan keagamaan yang penting bagi perkembangan Islam di Jakarta.

Kapasitas dan Fungsi Masjid

Masjid Jami An-Nawier Pekojan bisa menampung 2.000 jamaah untuk salat Jumat. Selain sebagai tempat ibadah, masjid ini juga berfungsi sebagai pusat pendidikan Islam dan kegiatan sosial.

Makam Bersejarah di Sekitar Masjid

Di utara masjid, terdapat makam Komandan Dahlan yang dibangun abad ke-18. Makam ini menambah nilai sejarah dan spiritual masjid. Banyak peziarah yang datang untuk mendoakan arwah pendiri masjid ini.

Masjid Jami An-Nawier Pekojan bukan hanya bukti sejarah Islam Jakarta. Ia juga simbol persatuan etnis. Dulu, Pekojan dihuni oleh Arab, Hadramaut, dan India. Sekarang, kawasan ini beragam, dengan penduduk Tionghoa, Betawi, dan lainnya. Tradisi tukar-menukar hadiah antara penduduk Tionghoa dan Arab saat Lebaran dan Imlek menunjukkan keberagaman ini.

Masjid Al-Anwar Muara Angke: Perpaduan Arsitektur Belanda, Banten, dan Cina

Masjid Al-Anwar Muara Angke, atau Masjid Angke, adalah saksi bisu perlawanan Belanda di Jakarta. Terletak di koordinat 6°08′36″S 106°47′46″E, masjid ini dibangun pada tahun 1761 oleh orang Bali di Batavia.

Arsitektur masjid ini menunjukkan perpaduan budaya Bali, Belanda, Jawa, dan Tionghoa. Atap masjid bergaya Bali, sementara tiang-tiang kayu mengingatkan pada bangunan Belanda. Ukiran pintu bergaya Jawa dan jendela berteralis kolonial menambah keunikan masjid ini.

Masjid Al-Anwar Muara Angke dibangun di lahan 400 meter persegi, dengan bangunan utama 15 x 15 meter. Pendirinya, Ibu Tan Hio, seorang wanita Tionghoa yang menikah dengan bangsawan Banten, bekerja sama dengan arsitek Muslim Tionghoa bernama Sek Liong Tan.

  • Masjid ini ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Pemerintah DKI Jakarta pada tahun 1993
  • Di sekitar masjid terdapat makam keturunan Arab, Bali, Banten, Pontianak, dan Tartar
  • Pernah terbengkalai antara 1919-1936, namun dipugar kembali pada 1951

Keberadaan Masjid Al-Anwar Muara Angke menunjukkan harmoni berbagai etnis. Arsitektur masjid unik ini bukan hanya tentang sejarah perlawanan Belanda. Ia juga simbol persatuan dalam keberagaman.

Masjid masjid tertua di Jakarta: Saksi Bisu Perjuangan Kemerdekaan

Masjid bersejarah Jakarta bukan hanya tempat ibadah. Mereka juga saksi bisu perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bangunan-bangunan ini menyimpan cerita heroik para pejuang.

Contohnya, Masjid Jami Matraman berada 300 meter dari Tugu Proklamasi. Ini membuatnya penting bagi para pejuang. Masjid ini dikenal sebagai “Masjid Bung Karno” karena sering digunakan untuk diskusi tokoh-tokoh kemerdekaan.

Sejarah Masjid Jami Matraman lebih tua dari proklamasi. Masjid ini mungkin sudah ada sejak era Sultan Agung mengirim pasukan ke Batavia pada 1620-an. Desain jendelanya, berbentuk bintang dan bulan sabit, melambangkan organisasi Sarekat Islam.

Setelah proklamasi, Sukarno dan Mohammad Hatta sering salat berjamaah di masjid ini. Meski tidak terdaftar sebagai cagar budaya Menteng, Masjid Jami Matraman tetap penting sebagai wisata sejarah Jakarta.

Masjid-masjid tua di Jakarta bukan sekadar bangunan, tapi juga simbol perjuangan dan persatuan bangsa Indonesia.

Masjid Al-Anshor di Pekojan dan Masjid Agung Sunda Kelapa di Menteng juga punya kisah perjuangan. Arsitektur unik dan lokasi strategis membuat mereka saksi perkembangan Islam dan semangat nasionalisme di Jakarta.

Masjid Agung Sunda Kelapa: Simbol Pelabuhan Bersejarah

Masjid Agung Sunda Kelapa berdiri megah di Jakarta sejak 1970. Masjid ini menjadi saksi bisu sejarah pelabuhan Sunda Kelapa yang pernah jaya di masa lalu. Dengan kapasitas 4.430 jamaah, masjid ini tidak hanya tempat ibadah tapi juga pusat kegiatan Islam di kawasan tersebut.

Masjid Agung Sunda Kelapa

Desain Unik Tanpa Kubah

Arsitektur masjid unik ini menarik perhatian. Tanpa kubah, beduk, atau ornamen umum masjid lainnya, Masjid Agung Sunda Kelapa tampil beda. Arsitek Gustaf Abbas merancang masjid ini dengan gaya modern yang mencerminkan semangat zamannya.

Makna Filosofis Bentuk Perahu

Atap masjid berbentuk perahu, simbol kuat Pelabuhan Sunda Kelapa. Bentuk ini melambangkan kepasrahan umat Muslim dalam berdoa, seperti perahu yang mengikuti arus laut. Desain ini mengingatkan pada peran penting pelabuhan dalam penyebaran Islam di Jakarta.

Peran Masjid dalam Penyebaran Islam

Masjid Agung Sunda Kelapa berperan penting dalam penyebaran Islam. Dulu, saudagar Muslim singgah di pelabuhan dan beribadah di sini. Kini, masjid ini menjadi pusat kegiatan Islam modern dengan berbagai fasilitas:

  • Ruang pertemuan untuk 150 orang
  • Tempat resepsi pernikahan untuk 700 tamu
  • Program spiritual harian
  • Kegiatan iktikaf yang diikuti ribuan jamaah saat Ramadhan

Dengan luas 9.920 meter persegi, Masjid Agung Sunda Kelapa terus menjadi simbol penting Islam di Jakarta. Arsitektur uniknya dan perannya dalam sejarah menjadikannya salah satu masjid paling menarik di ibu kota.

Masjid Cut Meutia: Dari Kantor Pos hingga Tempat Ibadah

Masjid Cut Meutia adalah bangunan bersejarah di Jakarta yang kaya akan cerita. Awalnya, dibangun sebagai kantor biro arsitek di Jalan Taman Cut Meutia No. 1 pada tahun 1912. Bangunan ini telah mengalami banyak perubahan fungsi, menunjukkan dinamika sejarah Indonesia selama lebih dari satu abad.

Sebelum menjadi masjid, bangunan ini berfungsi sebagai kantor pos, kantor departemen kereta api, dan bahkan kantor Angkatan Laut Jepang. Setelah Indonesia merdeka, gedung ini digunakan sebagai kantor pemerintahan, termasuk Kementerian Urusan Perumahan dan Kementerian Urusan Agama.

Konversi bangunan ini menjadi masjid terjadi pada tahun 1987, atas keputusan Gubernur DKI Jakarta. Awalnya, dinamai Masjid Al-Jihad, namun sekarang lebih dikenal sebagai Masjid Cut Meutia. Arsitektur asli bangunan tetap dipertahankan, menjaga nuansa Eropa Barat di dalam dan luar.

Masjid Cut Meutia memiliki 50 jendela dan 16 pintu yang menyebar di seluruh bangunannya. Ruang utamanya terbagi menjadi area shalat jamaah laki-laki, jamaah perempuan, dan kantor. Lokasinya strategis, dekat Stasiun Gondangdia, membuatnya mudah diakses.

Sebagai bangunan cagar budaya sejak 1961, Masjid Cut Meutia bukan hanya tempat ibadah. Ia juga menjadi saksi bisu perjalanan sejarah Jakarta. Keberadaannya menunjukkan bagaimana bangunan kolonial bisa dikonversi menjadi tempat ibadah yang berarti, sambil mempertahankan nilai sejarahnya.

Masjid Al-Makmur Cikini: Peninggalan Bangsawan Mataram

Masjid Al-Makmur Cikini adalah peninggalan Mataram di Jakarta. Dibangun pada 1923, masjid ini menunjukkan usaha Kerajaan Mataram menyebar Islam ke Batavia. Ini adalah bukti nyata dari upaya mereka.

Keunikan Masjid Al-Makmur Cikini terletak pada arsitekturnya yang tetap terjaga. Meski ada perombakan dan penambahan pada 1932/1934, struktur utamanya tetap asli. Ini menjadikan masjid ini sebagai cagar budaya Jakarta yang penting.

Keberadaan masjid ini menunjukkan pengaruh Kerajaan Mataram pada perkembangan Islam di Jakarta. Ditempat strategis di Cikini, Masjid Al-Makmur menjadi pusat kegiatan keagamaan dan sosial.

“Masjid Al-Makmur Cikini bukan sekadar tempat ibadah, tapi juga simbol persatuan dan perjuangan umat Islam di Jakarta.”

Sebagai warisan sejarah, Masjid Al-Makmur Cikini sangat penting dalam kehidupan Jakarta. Kehadirannya mengingatkan kita pada kekayaan budaya dan sejarah Islam di ibukota. Ini juga menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk melestarikan nilai-nilai luhur.

Masjid Jami As-Salafiyah: Warisan Pangeran Jayakarta

Masjid Jami As-Salafiyah, atau Masjid Pangeran Jayakarta, adalah saksi bisu perjuangan Batavia. Dibangun pada 1620, masjid ini penting dalam perkembangan Islam di Jakarta.

Latar Belakang Sejarah

Pangeran Jayakarta membangun masjid ini saat menghadapi tekanan dari Jan Pieter Coen. Masjid ini menjadi pusat spiritual dan simbol perlawanan terhadap penjajahan. Sekarang, Masjid Jami As-Salafiyah adalah bangunan cagar budaya, bagian dari 16 masjid bersejarah di Jakarta.

Arsitektur dan Ciri Khas

Arsitektur Masjid Jami As-Salafiyah menunjukkan era perlawanan Batavia. Desainnya gabungan unsur tradisional dan kolonial, menciptakan keunikan. Masjid ini menunjukkan keberagaman budaya yang membentuk Jakarta.

Peran dalam Perjuangan Melawan Penjajah

Di masa penjajahan, Masjid Jami As-Salafiyah adalah tempat ibadah dan pusat perlawanan. Masjid ini saksi perjuangan Pangeran Jayakarta dan masyarakat Batavia. Sekarang, masjid ini tetap tempat ibadah dan destinasi wisata, menarik wisatawan dari berbagai negara.

Keberadaan Masjid Jami As-Salafiyah memperkaya wisata religi di Jakarta. Dengan 3.057 masjid di DKI Jakarta, masjid ini berkontribusi pada pariwisata budaya dan sejarah di ibu kota.

Pelestarian dan Revitalisasi Masjid Tua di Jakarta

Menyelamatkan masjid bersejarah di Jakarta itu tantangan dan peluang. Masjid Angke, yang dibangun tahun 1761, menunjukkan bagaimana revitalisasi cagar budaya bisa sukses. Pemugaran dimulai 2017 dan selesai September 2016, mengembalikan keindahan arsitektur yang unik. Arsiteknya, Tionghoa Syeikh Liong Tan, menggabungkan gaya Jawa, Bali, Arab, Cina, dan Belanda.

Masjid berukuran 15×15 meter ini, karya arsitek Tionghoa Syeikh Liong Tan, menunjukkan perjuangan melawan penjajah Belanda. Masjid-masjid tua di Pekojan bukan hanya simbol sejarah. Mereka juga tetap digunakan masyarakat dan menjadi ‘monumen hidup’. Namun, kualitas fisik kawasan turun, membuat pelestarian jadi tantangan.

Revitalisasi masjid tidak hanya soal bangunan. Ini juga tentang mempertahankan ‘sense of place’ kawasan. Pendekatan yang tepat bisa menjaga keunikan dan keaslian. Dengan demikian, masjid-masjid bersejarah bisa jadi destinasi wisata religi Jakarta yang menarik. Mereka akan memberikan pengalaman yang kaya akan sejarah dan budaya.

FAQ

Apa yang dimaksud dengan masjid tertua di Jakarta?

Masjid tertua di Jakarta adalah yang dibangun abad ke-16 hingga ke-19. Mereka menjadi saksi penyebaran Islam di Jakarta. Masjid-masjid ini punya nilai sejarah tinggi dan arsitektur unik.

Mengapa masjid-masjid tua di Jakarta penting untuk dilestarikan?

Masjid-masjid tua di Jakarta penting karena mereka saksi bisu perkembangan Islam di ibu kota. Mereka juga menunjukkan perpaduan budaya dan perjuangan melawan penjajah. Pelestarian mereka penting untuk menjaga warisan sejarah, budaya, dan arsitektur.

Apa keunikan arsitektur masjid-masjid tua di Jakarta?

Arsitektur masjid tua Jakarta dipengaruhi oleh berbagai budaya. Ini mencerminkan sejarah Jakarta sebagai pelabuhan yang kaya budaya. Masjid-masjid ini punya bentuk dan ornamen yang unik.

Masjid mana yang dianggap sebagai masjid tertua di Jakarta?

Masjid Al-Alam di Cilincing adalah yang tertua di Jakarta, dibangun 1527. Usianya mencapai 496 tahun.

Apa fungsi masjid-masjid tua di Jakarta selain sebagai tempat ibadah?

Masjid-masjid tua Jakarta juga pusat penyebaran Islam dan tempat pertemuan rahasia. Mereka juga destinasi wisata religi dan sejarah yang menarik.

Apakah ada masjid tua di Jakarta yang dikonversi dari bangunan lain?

Masjid Cut Meutia awalnya bangunan Belanda untuk kantor pos dan kereta api. Diubah jadi masjid 1987 oleh Gubernur Ali Sadikin. Jakonepay

Leave a Comment